Powered By Blogger

Sabtu, 29 Oktober 2011

MEKANISME HIV dan AIDS DAN PENGOBATAN NYA.



Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan masalah global yang mulai melanda dunia sejak awal tahun 80-an. AIDS dapat diartikan sebagai sindroma (kumpulan gejala) penyakit yang disebabkan oleh rusak atau menurunnya sistem kekebalan tubuh.  Rusak atau menurunnya sistem kekebalan tubuh disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS bukan merupakan penyakit keturunan. Dengan melemahnya sistem kekebalan, penderita sangat mudah terkena serangan penyakit yang ringan sekalipun. Hingga kini belum ada obat yang ditemukan untuk melawan secara efektif penyakit ini. Ada beberapa jenis obat yang sudah digunakan untuk melawan penyakit ini, diantaranya yaitu AZT, DDI, DDC. Namun efeknya hanya untuk menahan laju HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderita dan belum mampu mematikan secara total virus ini.
Di Indonesia menurut data Direktorat Jenderal Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, hingga akhir Desember 2001 tercatat 2.575 kasus HIV-AIDS, ditambah 213 kasus baru pada bulan yang sama, sehingga total kasus HIV-AIDS sampai 31 Desember 2001 sebanyak 2.788 kasus.

Cara Kerja Virus HIV

Human Immunodeficiency Virus termasuk golongan retro virus. Retro virus adalah virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia dan memiliki kemampuan mengcopy cetak biru materi genetik (DNA-RNA) mereka di dalam materi genetik sel-sel manusia yang ditumpangi. Dengan proses ini HIV dapat mematikan sel-sel darah putih (khususnya limfosit atau sel T-4 atau sel CD-4). HIV sangat kecil ukurannya, lebih kecil daripada seperseribu tampang sehelai rambut. Virus ini bentuknya seperti binatang bulu babi (yaitu binatang laut) yang berbulu tegak dan tajam.



Bagaimana tepatnya proses HIV melemahkan sistem kekebalan (imunitas) masih diselidiki. Menurut teori yang paling banyak diterima, HIV langsung menyerang sel darah putih. Enzim yang ada pada tonjolan bagian luar HIV menempel dan merusak dinding sel darah putih dan akhirnya, virus tersebut masuk ke dalamnya. RNA (Ribo Nucleic Acid) virus akan menempel pada DNA (Deoksiribo Nucleic Acid) sel darah putih, lalu sel darah putih akan pecah, dan virusnya pun akan memecah diri lalu mencari sel darah putih lainnya. Karena serangan virus HIV, lambat laun jumlah sel darah putih yang sehat semakin berkurang dan akhirnya sistem kekebalan menjadi lumpuh. Orang yang sel darah putihnya sudah terinveksi HIV, dapat dipastikan yang bersangkutan sudah memiliki antibodi spesifik terhadap HIV dan ia sudah digolongkan mengidap HIV.

 

Tahap dan Gejala AIDS

Gejala-gejala AIDS baru bisa dilihat pada seseorang yang tertular HIV sesudah masa inkubasi. Masa inkubasi adalah satu periode waktu antara masuknya virus HIV ke dalam darah (awal infeksi) sampai dengan timbulnya gejala-gejala penyakit AIDS. Masa inkubasi berkisar 5 sampai 10 tahun setelah terinfeksi. Selama masa inkubasi jumlah HIV dalam darah terus bertambah sedangkan jumlah sel darah putih semakin berkurang. Kekebalan  tubuhpun semakin rusak jika jumlah sel darah putih kian sedikit.
Masa inkubasi terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
Tahap Pertama disebut masa jendela atau window period yaitu tenggang waktu pertama setelah HIV masuk ke dalam aliran darah. Berlangsung hingga 6 bulan. Pada tahap ini test HIV menunjukkan hasil negatif. Hal ini karena tes yang mendeteksi antibodi HIV belum dapat menemukannya, sehingga hasilnya negatif. Biasa disebut negatif palsu karena orang yang bersangkutan sebenarnya sudah terinfeksi. Pada kondisi ini penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.

Tahap Kedua disebut kondisi asimptomatik, yaitu suatu keadaan yang tidak menunjukkan gejala-gejala walaupun sudah terinfeksi HIV. Kondisi ini dapat berlangsung 5-10 tahun tergantung sistem kekebalan tubuh penderita. Pada tahap ini penderita bisa menularkan kepada orang lain.

Tahap Ketiga disebut dengan penyakit yang terkait dengan HIV (HIV related illness), ditandai dengan gejala-gejala awal penyakit. Gejala-gejalanya antara lain :
-          pembesaran kelenjar limfe / kelenjar getah bening
-          hilang selera makan
-          berkeringat berlebihan pada malam hari
-          timbul bercak-bercak di kulit
-          diare terus menerus
-          flu tidak sembuh-sembuh
Tahap ini dapat berlangsung sekitar 6 bulan sampai 2 tahun.

Tahap Keempat disebut masa AIDS. Ditandai dengan jumlah sel darah putih (limfosit / sel T-4) kurang dari 200 / mikroliter. Kondisi ini ditandai dengan munculnya berbagai penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh infeksi oportunistik (TBC, Pneumonia, Gangguan syaraf, Herpes, dll).

Penularan HIV

Kondisi yang diperlukan untuk terjadi penularan virus HIV adalah bahwa virus HIV harus masuk ke aliran darah. HIV sangat rapuh dan cepat mati di luar tubuh. Virus ini juga sensitif terhadap panas dan tidak tahan hidup pada suhu di atas 60 0C.
Untuk tertular harus ada konsentrasi HIV yang cukup tinggi. Di bawah konsentrasi tertentu, tubuh manusia cukup kebal HIV sehingga tidak terjadi infeksi.
HIV ada di hampir semua cairan tubuh manusia seperti keringat, air ludah, air mata, darah, cairan sperma, cairan vagina. HIV dalam air ludah, air mata dan keringat konsentrasinya tidak cukup tinggi untuk dapat menularkan HIV. Cairan yang dapat menularkan hanyalah darah, cairan sperma dan cairan vagina yang mengandung HIV. Penularan dapat terjadi jika salah satu dari ketiga cairan tersebut masuk ke dalam aliran darah seseorang.

Penularan HIV melalui :
  1. cara seksual.
hubungan seksual (homoseks atau heteroseks) yang tidak aman dengan orang yang terinveksi HIV.
  1. cara parenteral
·         transfusi darah yang tercemar HIV
·         menggunakan jarum suntik, tindik, tato atau alat lain yang dapat menimbulkan luka yang telah tercemar HIV secara bersama-sama dan tidak di sterilkan.
  1. cara perinatal
dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada anak yang dikandungnya.

Mengurangi Risiko Penularan
Cara mengurangi risiko penularan infeksi HIV adalah dengan tidak melakukan kegiatan berisiko, yaitu menjaga agar jangan sampai cairan tubuh yang sudah tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. Cara-cara tersebut adalah antara lain :
1.      Bagi yang belum aktif melakukan kegiatan seksual (belum menikah):
Tidak melakukan hubungan seks sama sekali.
2.      Bagi yang sudah aktif melakukan kegiatan seksual (sudah menikah)
o   hubungan dengan mitra tunggal
o   menggunakan alat kontrasepsi (misal kondom)
o   jika memiliki Penyakit Menular Seksual (PMS), segera diobati.
3.      Hanya melakukan transfusi darah yang bebas HIV
4.      Mensterilkan alat-alat yang dapat menularkan
o   jarum suntik
o   tindik
o   pisau cukur
o   tatto, dll
5.      Ibu pengidap HIV agar mempertimbangkan kembali jika ingin hamil

Sterilisasi Alat
Penularan HIV dapat melalui alat kesehatan yang tercemar virus ini. Agar menghindari risiko penularan maka perlu dilakukan sterilisasi terhadap alat-alat tersebut. Sterilisasi alat dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
1.      Natriumhipochlorit (0,5%), Ethanol (70%), dan NPO4 (0,5%) dapat membantu menahan perkembangan HIV dalam waktu satu menit.
2.      H2O2 (0,3%), Lisol (0,5%), Isopropilalkohol (70%), efektif menahan perkembangan HIV dalam waktu 2-10 menit.
3.      Amonium chlorida kuartener (0,08%) efektif menahan HIV dalam waktu 10 menit.
4.      Nonoksinol-9 (surfaktan yang bersifat spermicid) dapat memperkuat fungsi kondom mencegah penularan HIV.
5.      Paraformaldehid (0,5%), efektif menahan HIV dalam waktu 25 menit; formalin (1:4), dan Glutaraldehid (0,1%) efektif dalam waktu 1 jam.
6.      HIV tidak sensitif terhadap sinar gamma (diperlukan dosis 10 kali lipat dibanding untuk sterilisasi makanan), dosis sinar UV jauh lebih tinggi dibutuhkan untuk membuat HIV inaktif di dalam ruang operasi dan laboratorium.
7.      Merebus alat dengan temperatur 100 0C juga akan dapat membunuh virus HIV.


Pengobatan
Hingga saat ini masih belum ditemukan obat –obat yang dapat melawan virus HIV secara efektif. Beberapa obat mulai dikembangkan, cukup membantu meskipun tidak dapat mengatasi secara total. Farmakoterapi diberikan masih sebatas membantu memperlambat rusaknya daya tahan tubuh seseoarang dan memperlambat perkembangan virus. Obat-obat golongan retro virus ini sayangnya hingga saat ini masih belum diproduksi di dalam negeri. Obat-obat tersebut adalah :
1.      Generik : Zidovudin (AZT). Patent : RetrovirÒ , AvirzidÒ
2.      Generik : Didanosin (ddl). Patent : VidexÒ
3.      Generik : Zalsitabin (ddC)
4.      Generik : Stavudin (d4T). Patent : ZeritÒ
5.      Generik : Lamivudin (3TC). Patent : EpivirÒ
6.      Inhibitor HIV Protease :
o   Generik : Saquinavir. Patent : InviraseÒ
o   Generik : Ritonavir. Patent : NorvirÒ
o   Generik : Indinavir. Patent : CrixivanÒ

 Bahan ajar farmakologi SMK Farmasi bjm.

PUSTAKA PENDUKUNG
               ; Paket Ceramah dan Diskusi AIDS;, Depdikbud dan Lentera PKBI Yogyakarta; 1995
                ; Penyakit Menular Seksual; Edisi II; Fakultas Kedokteran UI; Jakarta; 2001
Djauzi, S dan Rachmadi, K; Mimpi Pengobatan AIDS Murah di Indonesia, dalam Kompas; 17 Februari 2002; Jakarta; 2002
Harahap, W, Syaiful; Pers Meliput AIDS; Cetakan I; Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Fondation; Jakarta; 2000
Mansjoer, Arif, dkk; Kapita Selekta Kedokteran; Edisi ketiga; Jilid 1; Media Aesculapius, FK UI; Jakarta; 1999
Muninjaya Gde; AIDS di Indonesia, Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya, Cetakan I; EGC; Jakarta; 1999
Muninjaya Gde; AIDS Dikenali untuk Dihindari; Catakan I; Arcan; Jakarta; 1999
Mycek Mary, Harvey Richard, Champe Pamela; Farmakologi Ulasan Bergambar; Edisi II; Widya Medika; Jakarta; 1995.


Selasa, 25 Oktober 2011

mekanisme obat kortikosteroid

KORTIKOSTEROID

Terdapat dua sistem pengaturan fungsi tubuh untuk menyesuaikan dan mempertahankan diri terhadap perubahan pengaruh lingkungan agar keadaannya selalu konstan dan seimbang (homeostasis), yakni melalui pengaturan oleh Sistem Saraf Vegetatif (Otonom) dan Sistem Kelenjar Endokrin.

Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang mengeluarkan hasil sekresinya (berupa hormon) langsung ke dalam sistem pembuluh darah, karena tidak mempunyai saluran atau kelenjar buntu. Ada tiga bentuk struktur kimia hormon yaitu Hormon Peptida/protein (kelenjar pankreas, hipotalamus), Hormon Asam Amino (Tirosin, Adrenalin / Noradrenalin) dan Hormon Steroid (Estrogen, Progesteron dan Kortikosteroid).

Kortikosteroid dan hormon kelamin (androgen dan estrogen) dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal (adrenal) bagian korteks  (kulit). Sedangkan kelenjar adrenal bagian  medulla (sumsum) menghasilkan adrenalin dan noradrenalin.


Kelenjar adrenal mensekresi 2 hormon kortikosteroid yaitu Glukokortikoid dan Mineralokortikoid. Kedua kortikosteroid ini lazim disebut adrenokortikoid. Glukokortikoid utama pada manusia adalah kortisol dan mineralokortikoid utama adalah aldosteron. Kedua kortikosteroid ini disintesis dari kholesterol.


Perbedaaan kedua kortikosteroid ini disajikan pada tabel berikut :
Glukokortikoid
Perbedaan
Mineralokortikoid
Kortisol

Senyawa Utama

Aldosteron
Metabolisme :
Karbohidrat, Protein dan Lemak
Mineral dengan mengatur retensi Na dan K

Efek utama

Metabolisme :
Mineral dengan mengatur retensi Na dan Sekresi K, H
ACTH (Adreno Corticotropin Hormon)

Sekresi dipengaruhi oleh

Kadar Mineral (Na dan K) dan Volume Plasma.



Mekanisme Kerja kortikosteroid

Seperti hormon steroid lain, adrenokortikoid mengikat reseptor sitoplasmik intraseluler pada jaringan target. Ikatan kompleks antara kortikosteroid dengan reseptor protein akan masuk ke dalam inti sel dan diikat oleh kromatin. Ikatan reseptor protein-kortikosteroid-kromatin mengadakan transkripsi DNA, membentuk mRNA dan mRNA merangsang sintesis protein spesifik.
Seperti telihat pada gambar berikut :

Efek-efek Kortikosteroid

A.     Glukokortikoid

1.      Merangsang glikogenolisis (katalisa glikogen menjadi glukosa) dan glikoneogenolisis (katalisa lemak / protein menjadi glukosa) sehingga kadar gula darah meningkat dan pembentukan glikogen di dalam hati dan jaringan menurun. Kadar kortikosteroid yang meningkat akan menyebabkan gangguan distribusi lemak, sebagian lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk pada bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan lengan.




2.      Meningkatkan resistensi terhadap stress. Dengan meningkatkan kadar glukosa plasma, glukokortikoid memberikan energi yang diperlukan tubuh untuk melawan stress yang disebabkan, misalnya oleh trauma, ketakutan, infeksi, perdarahan atau infeksi yang melemahkan. Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan jalan meningkatkan efek vasokontriktor rangsangan adrenergik pada pembuluh darah.

3.      Merubah kadar sel darah dalam plasma. Glukokortikoid menyebabkan menurunnya komponen sel-sel darah putih /  leukosit (eosinofil, basofil, monosit dan limfosit). Sebaliknya glukokortikoid meningkatkan kadar hemoglobin, trombosit dan eritrosit.

4.      Efek anti inflamasi.  Glukokortikoid dapat mengurangi respons peradangan secara drastis dan dapat menekan sistem imunitas (kekebalan).

5.      Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin. Penghambatan umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatan glukokortikoid menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut.

6.      Efek anti alergi. Glukokortikoid dapat mencegah pelepasan histamin.

7.      Efek pada pertumbuhan. Glukokortikoid yang diberikan jangka lama dapat menghambat proses pertumbuhan karena menghambat sintesis protein, meningkatkan katabolisme protein dan menghambat sekresi hormon pertumbuhan.

8.      Efek pada sistem lain.  Hal ini sangat berkaitan dengan efek samping hormon. Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung dan produksi pepsin dan dapat menyebabkan kambuh berulangnya (eksaserbasi) borok lambung (ulkus). Juga telah ditemui efek pada SSP yang mempengaruhi status mental. Terapi glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang yang berat (osteoporosis). Juga menimbulkan gangguan pada otot (miopati) dengan gejala keluhan lemah otot.


B.     Mineralokortikoid

Efek mineralokortikoid mengatur metabolisme mineral dan air. Mineralokortikoid membantu kontrol volume cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit (terutama Na dan K), dengan jalan meningkatkan reabsorbsi Na+, meningkatkan eksresi K+ dan H+. Efek ini diatur oleh aldosteron (pada kelenjar adenal) yang bekerja pada tubulus ginjal, menyebabkan reabsorbsi natrium, bikarbonat dan air. Sebaliknya, aldosteron menurunkan reabsorsi kalium, yang kemudian hilang melalui urine. Peningkatan kadar aldosteron karena pemberian dosis tinggi mineralokortikoid dapat menyebabkan alkalosis (pH darah alkalis) dan hipokalemia, sedangkan retensi natrium dan air menyebabkan peningkatan volume darah dan tekanan darah.



Indikasi Pemberian Kortikosteroid


  1. Terapi pengganti (substitusi) pada insufisiensi adrenal primer akut dan kronis (disebut Addison’s disease), insufisiensi adrenal sekunder dan tersier.
  2. Diagnosis hipersekresi glukokortikoid (sindroma Cushing).
  3. Menghilangkan gejala peradangan : peradangan rematoid, peradangan tulang sendi (osteoartritis) dan peradangan kulit, termasuk kemerahan, bengkak, panas dan nyeri yang biasanya menyertai peradangan.
  4. Terapi alergi. Digunakan pada pengobatan reaksi alergi obat, serum dan transfusi, asma bronkhiale dan rinitis alergi

 

Efek Samping dan Komplikasi


Efek samping terjadi umumnya pada terapi dosis tinggi atau penggunaan jangka panjang kortikosteroida. Adapun efek samping dan komplikasi yang dapat terjadi meliputi :
  1. Metabolisme glukosa, protein dan lemak; Atropi otot, osteoporosis dan penipisan kulit.
  2. Elektrolit ; Hipokalemia, alkalosis dan gangguan jantung hingga terjadi gagal jantung (cardiac failure).
  3. Kardiovaskular; Aterosklerosis dan gagal jantung
  4. Tulang; Osteoporosis dan patah tulang yang spontan
  5. Otot; Kelamahan otot dan atropi otot.
  6. SSP dan Psikis; Gangguan emosi, euforia, halusinasi, hingga psikosis.
  7. Elemen pembuluh darah; Gangguan koagulasi dan menurunkan daya kekebalan tubuh (immunosupresi)
  8. Penyembuhan luka dan infeksi; Hambatan penyembuhan luka dan meningkatkan risiko infeksi
  9. Pertumbuhan; Mengganggu pertumbuhan anak, kemunduran dan menghambat perkembangan otak
  10. Ginjal; Nokturia (ngompol), hiperkalsiuria, peningkatan kadar ureum darah hingga gagal ginjal.
  11. Pencernaan; Tukak lambung (ulcus pepticum).
  12. Pankreas; Peradangan pankreas akut (pankreatitis akut).
  13. Gigi; Gangguan email dan pertumbuhan gigi.

Timbulnya efek samping dan komplikasi terkait dengan beberapa faktor, yaitu :
  1. Cara pemberian
  2. Jumlah pemberian
  3. Lama pemberian
  4. Dosis pemberian
  5. Cairan yang diberikan
  6. Kadar albumin dalam darah
  7. Penyakit bawaan.



Contoh Obat-obat Kortikosteroid


Beberapa obat kortikosteroid disajikan pada tabel berikut :

Obat (Generik)
Contoh (Patent)
Aktivitas 1)
Bentuk Sediaan
Anti-Inflamasi
Topikal
Retensi Na
Glukokortikoid kerja singkat (8-12 jam)





Hidrokortison
Cortef
1
1
1
Oral, suntikan, topikal
Kortison
Cortone
0,8
0
0,8
Oral, suntikan, topikal
Glukokortikoid kerja sedang (18-36 jam)





Prednison
Hostacortin
4
0
0,3
Oral
Prednisolon
Delta-Cortef, Prelone
5
4
0,3
Oral, suntikan, topikal
Metilprednisolon
Medrol, Medixon
5
5
0
Oral, suntikan, topikal
Triamsinolon
Kenacort, Azmacort
5
5
0
Oral, suntikan, topikal
Fluprednisolon
Cendoderm
15
7
0
Oral, topikal
Glukokortikoid kerja lama (1-3 hari)





Betametason
Celestone
25-40
10
0
Oral, suntikan, topikal
Deksametason
Oradexon, Decadron
30
10
0
Oral, suntikan, topikal
Parametason
Dillar, Monocortin
10

0
Oral, suntikan
Mineralokortikoid





Fludrokortison
Florinef, Astonin
10
10
250
Oral, suntikan, topikal
Desoksikortikosteron

0
0
20
Suntikan, pelet
Keterangan : Aktivitas 1) menggambarkan potensi relatif terhadap Hidrokortison.

DAFTAR PUSTAKA


            ; ISO Indonesia; Volume XXXV; Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia; PT. AKA; Jakarta; 2001
Harkness, Richard; Interaksi Obat; Penerbit ITB; Bandung; 1989
Kasan, Umar; Hormon Kortikosteroid; Penerbit Hipokrates; Jakarta; 1997
Katzung, G. Bertram; Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi keenam; EGC; Jakarta; 1998
Kee, Joyce L dan Hayes, Evelyn R; Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan; EGC; Jakarta; 1996
Mutschler, Ernst, Dinamika Obat, Edisi Kelima, Penerbit ITB, Bandung, 1991
Mycek, J. Mary, Harvey, A. Richard dan Champe, C. Pamela; Farmakologi, Ulasan Bergambar; Edisi kedua; Widya Medika; Jakarta 2001
Tan, Hoan, Tjay dan Rahardja, Kirana; Obat-obat Penting; Edisi Keempat; 1991
Woodley, Michele dan Whelan, Alison; Pedoman Pengobatan; Edisi Pertama; Yayasan Essentia Medica dan Andi Offset; Yogyakarta; 1995


Bahan ajar Farmakology, SMK FARMASI ISFI BANJARMASIN